
meta charset="utf-8" />PENELITI Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Parasurama Pamungkas menilai Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) berpotensi membuka ruang bagi militerisasi teknologi digital dan mengancam perlindungan hak asasi manusia di ruang siber.
Menurut Parasurama, terdapat kekeliruan mendasar dalam konsep RUU tersebut. Ia menilai definisi RUU tersebut akan membentuk skema kewenangan yang cenderung memberi peran besar bagi militer di ruang digital.
“Ketahanan siber itu berbeda halnya dengan pertahanan siber. Namun dalam naskah akademik RUU dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pertahanan siber adalah pertahanan nasional,” ujarnya dalam diskusi ’RUU KKS: Proyeksi terhadap Ancaman HAM, Reformasi Militer dan Sistem Peradilan’ pada Jumat (17/10).
Lebih lanjut, Parasurama menyoroti bahwa rancangan aturan itu justru berpotensi memperluas peran aktor keamanan di ranah digital.
“Yang mengkhawatirkan adalah RUU ini memberikan ruang kepada aktor-aktor keamanan untuk memperkuat peran dan kewenangannya di dalam ruang digital. Situasi ini akan menjadi ekosistem yang ideal bagi militerisasi teknologi,” katanya.
Ia menjelaskan, tren militerisasi teknologi ini didorong bukan hanya oleh faktor politik, tetapi juga oleh kepentingan industri teknologi global.
“Beberapa perusahaan seperti Google, Meta, dan OpenAI ingin memiliki ruang gerak lebih luas seperti perusahaan pertahanan dalam mengembangkan teknologi baru,” tutur Parasurama.
Lebih lanjut, Parasurama menambahkan bahwa hal ini diperkuat dengan adanya kewenangan militer dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang kini mencakup pengurusan urusan siber.
Jika hal ini dibiarkan, lanjut Parasurama, RUU KKS akan mengingatkan dampak serius penggunaan sistem berbasis data intensif dalam konflik.
“Penggunaan data dalam konteks konflik berimplikasi serius terhadap privasi dan hak asasi manusia. Ini membuka peluang pengawasan berlebihan dan diskriminasi,” katanya.
Menurutnya, gelombang baru militerisasi teknologi akan menghasilkan alat-alat penindasan baru berbasis data. Ia juga mengkritik langkah korporasi teknologi besar yang melonggarkan prinsip etikanya terhadap militerisme.
“Google dan Meta bahkan memperbarui pedoman etik dengan menghapus janji untuk tidak mengejar senjata pengawasan dan teknologi berisiko tinggi,” ungkapnya.
Lebih jauh, Parasurama menegaskan pentingnya membedakan secara tegas antara keamanan siber dan pertahanan siber dalam penyusunan kebijakan.
“Legislasi keamanan dan ketahanan siber tidak boleh menjadi ekosistem bagi militerisasi teknologi yang mengancam hak asasi manusia. Kita perlu menyadari orientasi dan kerangka umum regulasi agar tidak mengaburkan batas antara keamanan dan kebebasan sipil,” tandasnya. (Dev/M-3)