
TIM Kuasa Hukum Nadiem Anwar Makarim menyerahkan bukti tambahan dalam sidang lanjutan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (9/10).
Adanya bukti tambahan ini memperkuat bukti-bukti yang telah diserahkan sebelumnya kepada hakim. Berbagai bukti dan fakta persidangan yang disampaikan tim kuasa hukum ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan I Ketut Darpawan sebagai hakim tunggal praperadilan untuk menghasilkan putusan yang adil, sekaligus membatalkan penetapan tersangka terhadap Nadiem dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) periode 2020-2022.
Perwakilan Tim Kuasa Hukum Nadiem, Dodi S Abdulkadir, berkeyakinan penetapan tersangka Nadiem Makarim tidak sah. Ia mengungkapkan, sejak pertama sidang praperadilan 3 Oktober 2025 hingga kini Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak pernah memberikan penjelasan resmi mengenai perbuatan spesifik tindak pidana korupsi yang dituduhkan dan dasar penetapan Nadiem sebagai tersangka.
Dodi menyoroti proses yang dijalankan Kejagung cacat hukum baik secara formil maupun materiil, sehingga harus dibatalkan. Ia menegaskan, penolakan penetapan tersangka ini didasarkan pada dua alat bukti yang tidak cukup hingga belum adanya perhitungan resmi kerugian keuangan negara.
"Mengingat tindak pidana korupsi itu adalah sekarang delik materiil, ini ibaratnya sama seperti adanya seseorang sudah ditetapkan tersangka melakukan pembunuhan tapi tidak ada yang mati. Jadi begitu juga penetapan tersangka terhadap Nadiem, dapat diibaratkan seperti itu," ujarnya.
Menurut Dodi, Nadiem ditetapkan sebagai tersangka tanpa adanya hitungan kerugian keuangan negara oleh lembaga yang sah. Padahal unsur material tersebut harusnya sudah dipenuhi sebelum Nadiem ditetapkan sebagai tersangka.
Pernyataan ini sejalan dengan saksi ahli yang dihadirkan oleh tim kuasa hukum Nadiem dalam sidang praperadilan sebelumnya, pakar hukum pidana Dr. Chairul Huda, SH., MH. Dia menjelaskan, kerugian keuangan negara yang menjadi dasar penetapan tersangka haruslah berupa kerugian nyata dan pasti jumlahnya (actual loss), bukan sekadar potensi kerugian atau dugaan semata (potential loss).
Chairul mengatakan, jika penetapan tersangka perihal adanya kerugian keuangan negara hanya didasarkan pada hasil expose, hal itu merupakan sekadar praktik penyidikan yang tidak dapat dipandang sebagai alat bukti yang sah. Jika terus dilanjutkan, tindakan itu merupakan bentuk kesewenang-wenangan yang sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Hal ini bahkan sejalan dengan pernyataan saksi ahli yang dihadirkan Kejagung, Pakar Hukum Pidana Prof. Suparji Ahmad. Dia menegaskan, bukti kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi harus berupa kerugian nyata (actual loss).
"Kerugian negara harus benar-benar terjadi dan dapat dihitung jumlahnya secara pasti dalam proses penetapan tersangka korupsi, bukan hanya kemungkinan akan terjadi di kemudian hari. Laporan hasil penghitungan kerugian keuangan negara sudah tersedia sebelum penetapan tersangka," papar dia.
Dalam proses praperadilan sebelumnya, sebanyak 12 tokoh antikorupsi dari berbagai latar belakang, termasuk mantan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga mantan Jaksa Agung mengajukan pendapat hukum dalam bentuk amicus curiae kepada hakim praperadilan dalam perkara pemeriksaan permohonan praperadilan nomor 119/Pid.Pra/2025/PN Jkt.Sel.
Para amici (sebutan bagi pihak amicus curiae) berpandangan bahwa proses praperadilan saat ini sering menyimpang dan gagal berfungsi sebagai pengawas efektif terhadap penggunaan diskresi penyidik, sekaligus mendesak reformasi proses pemeriksaan praperadilan penetapan tersangka secara umum di Indonesia.
Dalam kasus Nadiem, mereka menilai bahwa dua alat bukti yang dijadikan dasar penetapan tersangka terhadap pemohon tidak cukup kuat untuk menduga pemohon sebagai pelaku tindak pidana. Dengan kata lain, tindakan pemohon menetapkan status tersangka tidak berlandaskan pada konsep reasonable suspicion atau kecurigaan yang beralasan.
Mereka beranggapan beban pembuktian seharusnya tidak diberikan kepada pemohon, melainkan termohon, yaitu penyidik Kejaksaan Agung. Karena pada dasarnya penyidik yang mendalilkan sesuatu, bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga pemohon adalah pelakunya.
Dengan menjalankan prinsip tersebut, para amici menilai, dalam sidang praperadilan, hal pertama yang harus dilakukan oleh pihak termohon adalah menjelaskan tindak pidana yang diduga terjadi dan alasannya menduga seseorang sebagai pelaku tindak pidana.
Mempertimbangkan hal tersebut, para amici menyatakan, kondisi itu dapat membuka peluang yang sangat besar bagi hakim I Ketut Darpawan untuk membuat terobosan hukum baru yang tidak hanya bermanfaat dalam permohonan praperadilan yang saat ini sedang berlangsung, namun juga bermanfaat bagi permohonan-permohonan lainnya yang serupa ke depan. (E-1)