
MUSIK disebut sebagai salah satu penopang industri kreatif nasional. Indonesia memiliki potensi yang besar di industri musiknya, khususnya untuk bersaing di wilayah Asia Tenggara.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB Universitas Indonesia, Mohammad Dian Revindo, menyoroti besarnya potensi ekonomi musik Indonesia. Menurutnya, multiplier effect dapat terjadi jika seluruh rantai ekosistem, dari hulu ke hilir, dikelola secara terpadu.
“Pemerintah dapat berperan lebih jauh, bukan hanya lewat kebijakan fiskal, tetapi juga dengan menggandeng sektor perbankan dalam pembiayaan industri musik. Dalam jangka panjang, bahkan bisa diwujudkan pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) khusus bidang musik,” jelasnya, dalam keterangannya, Jumat, (10/10).
Hal itu diungkapkan dalam rangkaian kegiatan di Konferensi Musik Indonesia (KMI) 2025 bertajuk “Musik sebagai Ekonomi Kekuatan Baru” yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta pada 8--11 Oktober. Dihadiri lebih dari 300 peserta dari berbagai daerah, Kementerian Kebudayaan menyebut kegiatan tersebut menjadi salah satu bahasan paling strategis karena menyoroti peran musik sebagai sektor potensial dalam menopang ekonomi kreatif nasional.
Sebagai moderator, Chief Marketing Officer Mad Haus Group, Dimaz Joey, menegaskan bahwa pembahasan tidak lagi sebatas potensi, melainkan pada langkah konkret untuk mewujudkannya. “Hari ini kita tidak hanya bicara tentang peluang, tapi bagaimana potensi tersebut bisa direalisasikan melalui kebijakan yang adil dan insentif yang berpihak pada pelaku musik,” ujarnya.
Dari sisi fiskal, Timon Pieter, Penyuluh Ahli Madya Direktorat Jenderal Pajak, mengungkapkan pentingnya kontribusi para musisi terhadap perekonomian negara. “Pajak yang dihasilkan dari karya para musisi merupakan penopang pertumbuhan industri musik. Dana ini akan kembali ke masyarakat dalam bentuk dukungan bagi panggung, pendidikan, dan infrastruktur budaya. Musik menyambungkan perasaan, dan pajak menyambungkan cita-cita,” tegasnya.
Dari sisi industri, Andro Rohmana dari Backstagers Indonesia menekankan pentingnya mengubah paradigma terhadap sektor event. “Kita perlu memandang penyelenggaraan event bukan sebagai biaya, melainkan investasi yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan berdampak luas terhadap masyarakat,” ujarnya.
Senada, Yonathan Nugroho dari Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) mengungkapkan bahwa tren konsumsi musik digital di Indonesia kini menunjukkan pergeseran positif. “Dengan 70 persen konsumsi musik digital berasal dari katalog lokal, terlihat bahwa apresiasi terhadap karya anak bangsa semakin meningkat. Kualitas produksi musik Indonesia kini telah setara dengan tingkat Asia Tenggara, bahkan internasional,” katanya.
Diskusi panel menghasilkan tujuh rekomendasi strategis, antara lain: memperkuat pengakuan hak dan perlindungan tenaga kerja di industri musik; pembangunan gedung pertunjukan representatif di daerah; dukungan riset industri event; penyederhanaan pajak royalti dan pembebasan PPN; kebijakan PPh 21 bagi pekerja berpenghasilan di bawah Rp10 juta; penerapan efektif PP Nomor 24 Tahun 2022 melalui kerja sama dengan lembaga keuangan; serta pemberian insentif fiskal bagi investasi intellectual property (IP) di sektor musik. (Ant/H-3)